PMII adalah
bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses kemunculannya, proses
lahirnya sampai proses perjalanannya hingga sekarang, PMII telah menjadi saksi
dari sejarah perjalanan Indonesia.
Selain itu,
PMII juga sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah terpuruk.
PMII pernah bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis dan PMII
pernah ditendang dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak
terpisahkan dari perjalanan PMII.
Dalam proses
pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial politik tahun
1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi kepemudaan seperti HMI
(ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI (dengan PERTI) IMM
(dengan Muhammadiyah) dan HIMMA (dengan Wasillah).
Dibawah ini
adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
1.
Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam
kurun waktu 1950-1959.
2.
Tidak menentunya sistem pemerintahan dan
perundang-undangan yang ada.
3.
Pisahnya
NU dari Masyumi.
Hal itupun
membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji bola
dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 di dirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) oleh
tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU tidak
merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24
Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas
organisasi”.
Tetapi sampai
pada Kongres IPNU ke 2 (Awal 1957 di pekalongan)dan ke 3 (akhir 1958 di
Cirebon) NU masih memandang belum perlu adanya organisasi kemahasiswaan. Baru
kemudian pada tahun 1959 IPNU membuat departemen yang kemudian dikenal
dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Satu tahun kemudian setelah
Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif dan tidak cukup
menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konprensi Besar IPNU (14-16 Maret
1960) di Kaliurang sepakat mendirikan organisasi tersendiri.
Rekomendasi ini
dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said
Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung),
Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta),
Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab
Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan
Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ
baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah
organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII).
Tidak berselang
lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang
menghasilkan deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam
percaturan nasional. Tahun 1963 kongres ke-2 PMII digelar di Yogyakarta.
Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan
Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor
untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara.
Pada masa ini,
terjadi gejolak yang mempengaruhi situasi nasional. Mahasiswa menyikapinya
dengan berbagai aksi dengan berbagai organ taktis seperti KAMI dan KAPPI. Dalam
proses ini, PMII mengambil tempat terdepan. Bahkan, Ketua Umum PB PMII, Zamroni
menjadi ketua KAMI/KAPPI dari awal sampai akhir berdirinya.
Dalam
perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami keterbatasan
langkah di bawah naungan NU –ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada tahun 1972,
PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di Murnajati.
Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus Deklarasi
Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi
Yusuf (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’
Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan Muiz Kabri
(Malang).
Kiprah PMII
pasca independen tidak banyak terekam, karena minimnya dokumen, termasuk posisi
PMII ketika kasus Malari. Tetapi yang jelas, ketika rezim orde baru berkuasa,
PMII dipinggirkan dan dibatasi perannya. Kemudian, PMII berusaha mengambil
langkah-langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baru
tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola
hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi Interdependensi
terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Setelah itu,
PMII terlibat dengan berbagai gerakan, termasuk gerakan Reformasi tahun 1998
dengan terang-terangan atau masuk ke dalam organ-organ gerakan taktis.
Kumpulan
serpihan sejarah PMII menjadi penting sebagai cermin bagi kita untuk
mengayunkan langkah ke arah yang lebih baik. Sehingga, kader PMII tidak
mengalami disorientasi dan kegagapan dalam menghadapi perubahan. Apalagi,
tradisi dokumentasi dirasakan sangat minim di PMII. Dalam buku-buku sejarah
gerakan mahasiswapun, PMII jarang disebut. Disamping
itu, para founding fathers PMII, satu per satu meninggal dunia, seperti
Mahbub Junaidi, Zamroni dll.
Sumber :
a.
Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Pemikiran
PMII dalam berbagai Persepsi,Surabaya, AULA NU.
b.
Mahbub Djunaidi dalam pengantar Effendi Choirie dan
Choirul Anam (1991), Pemikiran PMII dalam berbagai Persepsi,
Surabaya, AULA NU
c.
Hasil wawancara dengan Fauzan Alfas (Alumni PMII Malang)
d.
Hasil wawancara dengan Slamet Effendi Yusuf (Alumni PMII
Yogyakarta, Deklarator Independensi PMII di Murnajati dan sekarang Ketua DPP
Golkar dan Ketua Pelaksana Konvensi Calon Presiden Golkar).
Para Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa :
-
(Alm)
Mahbub Djunaidi (1960-1961)
-
(Alm)
Mahbub Djunaidi (1961-1963)
-
(Alm)
Mahbub Djunaidi (1963-1967)
-
(Alm) M.
Zamroni, BA (1967-1970)
-
(Alm) Drs.
M. Zamroni, (1970-1973)
-
Drs. Abduh
Paddere (1973-1977)
-
Ahmad
Bagdja (1977-1981)
-
Muhyiddin
Arubusman (1981-1985)
-
Iqbal
Assegaf (1985-1989)
-
Ali
Masykur Moesa (1989-1994)
-
Muhaimin
Iskandar (1994-1997)
-
Saiful
Bahri Anshori (1997-2000)
-
Nusron
Wahid (2000-2003)
-
Malik
Haramain (2003-2005)