Senin, 08 Oktober 2012

Kilas Balik Sejarah PMII




PMII adalah bagian dari sejarah Indonesia. Mulai dari awal proses kemunculannya, proses lahirnya sampai proses perjalanannya hingga sekarang, PMII telah menjadi saksi dari sejarah perjalanan Indonesia.

Selain itu, PMII juga sejarah bagi dirinya sendiri. PMII pernah jaya dan pernah terpuruk. PMII pernah bersitegang akibat perdebatan tentang politik praksis dan PMII pernah ditendang dari wilayah strategis. Semua itu bagian dari sejarah yang tak terpisahkan dari perjalanan PMII.

Dalam proses pemunculannya, PMII tidak bisa dipisahkan dari kondisi sosial politik tahun 1950-an. Ketika itu, telah muncul organisasi-organisasi kepemudaan seperti HMI (ketika itu underbow Masyumi) SEMMI (dengan PSII) KMI (dengan PERTI) IMM (dengan Muhammadiyah) dan HIMMA (dengan Wasillah).

Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:

1.     Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959.
2.     Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3.     Pisahnya NU dari Masyumi.

Hal itupun membuat anak-anak NU ingin mendirikan wadah yang bernaung di bawah panji bola dunia. Akhirnya, pada tahun 1955 di dirikanlah IMANU (Ikatan Mahasiswa NU) oleh tokoh-tokoh PP-IPNU. Namun, IMANU tidak berumur panjang. Sebab, PBNU tidak merestui dengan alasan yang sangat logis: “IPNU didirikan baru tanggal 24 Februari 1954 dan dengan pertimbangan waktu, pembagian tugas dan efektifitas organisasi”.

Tetapi sampai pada Kongres IPNU ke 2 (Awal 1957 di pekalongan)dan ke 3 (akhir 1958 di Cirebon) NU masih memandang belum perlu adanya organisasi kemahasiswaan. Baru kemudian pada tahun  1959 IPNU membuat departemen yang kemudian dikenal dengan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Satu tahun kemudian setelah  Departemen Perguruan Tinggi IPNU ini dianggap tidak efektif dan tidak cukup menampung aspirasi mahasiswa NU, maka pada Konprensi Besar IPNU (14-16 Maret 1960) di Kaliurang sepakat mendirikan organisasi tersendiri.

Rekomendasi ini dimanfaatkan dengan baik oleh 13 tokoh, yakni; Chalid Mawardi (Jakarta), Said Budairy (Jakarta), M. Shabih ubaid (Jakarta), Makmun Syukri BA. (Bandung), Hilman (Bandung), H. Ismail Makky (Yogyakarta), Munsif Nachrawi (Yogyakarta), Nurilhuda Suady HA. (Surakarta), Laily Mansyur (Surakarta), Abdul Wahab Djailani (semarang), Hisbullah Huda (Surabaya), M. Chalid Marbuko (Malang), dan Ahmad Husein (Makasar). Pada tanggal 14-16 April 1960, mereka menggodok organ baru di TPP Khadijah Surabaya. Akhirnya, tanggal 17 April 1960 lahirlah organisasi mahasiswa NU yang diberi nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Tidak berselang lama, tahun 1961 PMII melaksanakan Kongres I di Tawangmangu, Solo yang menghasilkan deklarasi Tawangmangu. Dari sini dimulailah kiprah PMII dalam percaturan nasional. Tahun 1963 kongres ke-2 PMII digelar di Yogyakarta. Kongres ini menegaskan kembali esensi Deklarasi Tawangmangu yang dikenal dengan Penegasan Yogyakarta. Tahun 1965 PMII mengadakan TC II di Megamendung, Bogor untuk menyikapi problem kehidupan masyarakat dan negara.

Pada masa ini, terjadi gejolak yang mempengaruhi situasi nasional. Mahasiswa menyikapinya dengan berbagai aksi dengan berbagai organ taktis seperti KAMI dan KAPPI. Dalam proses ini, PMII mengambil tempat terdepan. Bahkan, Ketua Umum PB PMII, Zamroni menjadi ketua KAMI/KAPPI dari awal sampai akhir berdirinya.

Dalam perjalanan selanjutnya, PMII merasa tidak strategis dan mengalami keterbatasan langkah di bawah naungan NU –ketika itu berfusi ke PPP. Maka pada tahun 1972, PMII mendeklarasikan Independensi dari NU dalam ajang Munas di Murnajati. Deklarasi ini terkenal dengan Deklarasi Murnajati. Adapun tim perumus Deklarasi Murnajati adalah; Umar Basalin (Bandung), Madjidi Syah (Bandung), Slamet Efendi Yusuf  (Yogyakarta), Man Muhammad Iskandar (Bandung), Choirunnisa’ Yafizhan (medan), Tatik Farikhah (Surabaya), Rahman indrus dan Muiz Kabri (Malang).

Kiprah PMII pasca independen tidak banyak terekam, karena minimnya dokumen, termasuk posisi PMII ketika kasus Malari. Tetapi yang jelas, ketika rezim orde baru berkuasa, PMII dipinggirkan dan dibatasi perannya. Kemudian, PMII berusaha mengambil langkah-langkah strategis untuk menunjukkan eksistensi dan kiprahnya. Baru tahun 1989 PMII melakukan Penegasan Cibogo (Kongres Medan) dan merevisi pola hubungan NU-PMII dengan pola interdependensi. Deklarasi Interdependensi terjadi ketika Kongres X PMII di Pondok Gede, Jakarta, tahun 1991. Setelah itu, PMII terlibat dengan berbagai gerakan, termasuk gerakan Reformasi tahun 1998 dengan terang-terangan atau masuk ke dalam organ-organ gerakan taktis.

Kumpulan serpihan sejarah PMII menjadi penting sebagai cermin bagi kita untuk mengayunkan langkah ke arah yang lebih baik. Sehingga, kader PMII tidak mengalami disorientasi dan kegagapan dalam menghadapi perubahan. Apalagi, tradisi dokumentasi dirasakan sangat minim di PMII. Dalam buku-buku sejarah gerakan mahasiswapun, PMII jarang disebut. Disamping itu, para founding fathers PMII, satu per satu meninggal dunia, seperti Mahbub Junaidi, Zamroni dll.

Sumber :
a.  Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Pemikiran PMII dalam berbagai Persepsi,Surabaya, AULA NU.
b.  Mahbub Djunaidi dalam pengantar Effendi Choirie dan Choirul Anam (1991), Pemikiran PMII dalam berbagai Persepsi, Surabaya, AULA NU
c.  Hasil wawancara dengan Fauzan Alfas (Alumni PMII Malang)
d.  Hasil wawancara dengan Slamet Effendi Yusuf (Alumni PMII Yogyakarta, Deklarator Independensi PMII di Murnajati dan sekarang Ketua DPP Golkar dan Ketua Pelaksana Konvensi Calon Presiden Golkar).

Para Ketua Umum PB PMII dari masa ke masa :
-       (Alm) Mahbub Djunaidi (1960-1961)
-       (Alm) Mahbub Djunaidi (1961-1963)
-       (Alm) Mahbub Djunaidi (1963-1967)
-       (Alm) M. Zamroni, BA (1967-1970)
-       (Alm) Drs. M. Zamroni, (1970-1973)
-       Drs. Abduh Paddere (1973-1977)
-       Ahmad Bagdja (1977-1981)
-       Muhyiddin Arubusman (1981-1985)
-       Iqbal Assegaf (1985-1989)
-       Ali Masykur Moesa (1989-1994)
-       Muhaimin Iskandar (1994-1997)
-       Saiful Bahri Anshori (1997-2000)
-       Nusron Wahid (2000-2003)
-       Malik Haramain (2003-2005)