Kamis, 24 November 2011

makalah ushul fiqh ( pengertian dan konsep ushul fiqh)

BAB I
USHUL FIQH
A.    USHUL FIQH

1.      Pengertian Ushul Fiqh
            Untuk mengetahui  makna dari kata ushul fiqih dapat di lihat dari dua aspek : Ushul fiqih kata majemuk ( murakkab), dan ushul fiqih sebagai istilah ilmiah.
            Dari aspek pertama, berasal dari dua kata, yaitu kata ushul bentuk jamak dari ashl dan kata fiqih, yang masing-masing memiliki pengertian yang luas. Ashl secara etimologi di artikan sebagai pondasi sesuatu, baik yang bersifat materi ataupun bukan.
            Adapun menurut istilah, ashl mempunyai beberapa arti berikut ini:
1.      Dalil, yakni landasan hukum

2.      Qoidah,yaitu dasar atau pondasi sesuatu, seperti sabda Nabi Muhammad SAW.



Artinya:
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau fondasi).”
3.      Rajih, yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih :
“Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya”.

4.      Mustashap, yakni memberlakukan hukum yang sudah ada sejak semula selama tidak ada dalil yang mengubah nya.

5.      Fur’u ( cabang), seperti perkataan ulama’ ushul:
“anak adalah cabang dari ayah


            Adapun fiqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarahan potensi akal. dan terdapat pula dalam hadist rasul saw:
UT 017
 




 Artinya:
“Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang dia akan memberikan pemahaman agama yang (mendalam) kepadnya.” (H.R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmizi, dan Ibnu Majah)

            Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya di artikan sebagai pengetahuan keagaman yang mencangkup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah maupun amaliah ini berarti fiqih sama dengan pengertian sari’ah islamiah. Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan bagian dari sari’ah islamiah, yaitu pengetahuan tentang hukum sari’ah islamiah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat dan di ambil dari dalil yang terinci.
            Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminology dapat di kemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu fiqh adalah Ilmu tentang hukum sara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang di peroleh malalui dalil-dalil nya yang terperinci.
            Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqh adalah Himpunan hukum sara’ tentang perbuatan manusia yang di ambil dari dalil-dalilnya yang terrinci.
            Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih di pandang sebagai ilmu yang berusaha menjalaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih di pandang sebagai hukum.hal ini terjadi karena adanya kemiripan antara fiqih sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum. ketika fiqih di definisikan sebagai ilmu, di ungkapkan secara deskriptip. manakala di definisikan sebagai hukum di nyatakan secara deskriptif.
            Keterangan di atas menunjukkan bahawa objek kajian fiqih ialah hukum perbuatan mukallaf, yakni halal,haram, wajib,makruh,dan mubah beserta dalil-dalil yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
            Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa fiqih adalah hukum sari’at yang di ambil dari dalilnya. Namun, menarik untuk di perhatikan,adalah pernyataan imam Haramain dan Almidi yang menegaskan bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum sara’ melalui penalaran. Pengetahuan hukum  yang tidak melalui ijtihad(kajian), tetapi yang bersifat daruri seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu haram, dan sebagainya. Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering di rangkaikan dengan Al-islami sehingga terangkai Al-fiqi Al-islami.
             Setelah di jelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah maka di sini di kemukakan pengertian ushul fiqih yamg menjadi pokok bahasan para ahli hukum islam ,dalam memberikan definisi ushul fiqih, beraneka ragam, Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum sara’ secara global dengan semua seluk beluik nya.
            Menurut Al-baidhawi dari  kalangan ulama’ syafi’iyah(juz I:16) bahwa yang di maksud dengan ushul fiqih itu adalah Ilmu pengetahuan tentang dalil fiqih secara global,metode penggunaan dalil tersebut,dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakan nya. Selain itu , ibnuAl-subki (juz I :25 mendefenisikan ushul fiqih sebagai Himpunan dalil fiqih secara global.
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefenisikan ushul fiqh sebagai Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara’ dari dalil-dalilnya.
            Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudary Beik,seorang guru besar universitas Al-Azhar Kairo.adapun Kamaluddin Ibnu Humam dari kalangan ulama Hanafiyah mendepenisikan Ushul Fiqih sebagai Pengetahuan tentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam penggalian fiqih.
Sementara itu, Abu Wahab Khalaf, seorang guru besar hokum di universitas Kairo Mesir menyatakan ushul fiqh adalah Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. (Abdul Wahab Khalaf : 12)
Dari pengertian Ushul Fiqih di atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut ulama syafi’iyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali (global) ; bagaimana cara mengistimbath hukum ; syarat orang yang menggali hukum atau syarat-syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi Ushul Fiqh itu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah-kaidah Ushul Fiqih dalam menggali hukum syara’.
            Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hokum atau sumber hukum dengan semua seluk beluk nya, dan metode penggaliannya. Metode tersebut harus di tempuh oleh ahli hukum islam dan mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. seluk beluk tersebut antara lain menertibkan dalil-dali dan menilai kekuatan dalil-dalil tersebut.
            Pada masa kini istimbat hukum yang lebih relevan adalah istimbat dengan maksud sari’ah, bahkan cendrung mneggunakan kaidah fiqih seperti yang di lakukan oleh para perumus kompilasi hukum islam di indonesia dalam merumuskannya, tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiah yang di jadikan suatu kerangka teori.

2.      Objek Kajian Ushul Fiqih
            Dari definisi ushul fiqih di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih  secara garis besarnya ada 3:


a.       Sumber hukum dengan semua seluk beluk nya.
b.      Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbe nya.
c.       Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istimbat dengan semua

Sementara itu, Muhammad aljuhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:
1.      sumber-sumber hukum sara’, baik yang di sepakati seperti al-qur’an dan sunnah,maupun yang di perselisihkan.
2.      pembahasan tentang ijtihad, yakni sarat-sarat dan sifat-sifat orang yang melakukun ijtihad
3.      mencarikan jalan ke luar dari dua dalil yang bertentangan secara zhohir,ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah dan lain-lain baik dengan jalan pengompromian,menguat kan salah satu (tarjih) pengguguran salah satu atau ke dua dalil yang bertentengan.
4.      pembahasan hukum syara’ yang meluputi sarat-sarat dan macam-macamnya, baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). juga dibahas tentang hukum, hakim, mahkum ‘alaih (orang yang di bebani) dll.
5.      pembahasan kaidah-kaidah yang di gunakan dalam mengistimbat hukum dan cara menggunakan nya.

3.      Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih
            Dari keterangan diatas, dapat terlihat dengan jelas bahwa ushul fiqih merupakan timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukum dan objeknya selalu dalil hukum, sementara objek fiqihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya. Walaupun titik kesamaan, yaitu keduanya merujuk pada dalil, namun konsentrasinya berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatu ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukan.
            Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagi pohon yang dapat melahirkan buah, sedang fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
            Setelah diketahui pengertian ushul dan fiqih, perlu diketahui bagaimana para ulama mendefinisikan ushul fiqih sebagai salah satu bidang ilmu.

4.      Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqih
            Para ulama ushul menyepakati bahwa ushul fiqih merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. dan RasulNya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, ushul fiqih bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai sarana.
            Oleh karena itu, secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai berikut ;
1.      memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum.
2.      mengambarkan persaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, agar mampu menggali hukum syara’ secara tepat, sedangkan bagi orang awam supaya lebih mantap dalam mengikuti pendapat yang dikemukan oleh para mujtahid setelah mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.
3.      memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang di kembangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan baru.
4.      memlihara agama dari penyimpangan dan penyalahgunaan dalil.dengan berpedoman pada ushul fiqih, hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap di akui syara’.
5.      menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat dipakai untuk menetapkan berbagai persoalan dan fenomena social yang terus berkembang di masyrakat.
6.      mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan. Dengan demukian, para peminat hukum islam dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alas an-alasan yang tepat.




5.      Sumber Pengambilan Ushul Fiqih
           Dari definisi ushul fiqih di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber pengambilan ushul fiqih itu berasal dari ;
a.       ilmu kalam (theology)
b.      ilmu Bahasa Arab
c.       Tujuan syara’

Hal itu disebabkan bahwa sumber hukum yang merupakan objek bahasan ushul fiqih diyakini dari Allah SWT. Berbentuk Al-qur’an dan sunah. Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut merupakan bahasan ilmu kalam.
            Ushul fiqih juga membahas dalalah lafazh. Penggunaan lafazh, ruang lingkup lazazh, seperti ‘amm dank hash, dan sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu bahasa arab. Selanjutnya, pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuanhukum dan hakikathukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH

1.      Pendahuluan
            Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-qur’an dan sunah. Dengan kata lain, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi  bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, sudah ada pada zaman Rasullulah dan sahabat.
            Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad yang dilakukan oleh Mu’adz ibnu jabal. Sebagai konsekuensi dari ijtihad ini adalah qiyas, karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang bersipat juz’iyah harus dengan qiyas (Ar-Rahman Asy-Sya’idi : 16). Contoh qiyas yang dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Ar-Rahman Ibnu Auf mengenai hukuman peminum khamar yang berbunyi :


                                                                                                                


Artinya :
“Bila seseorang meminum khamar, ia akan mengigau. Bila mengigau, ia akan menuduh orang berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera”. (Asy-Syaukani,VII : 125)

            Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa addahnya berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat At-Thalaq. Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang pada surat Al-Baqarah ayat 228. dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul, bahwa nash yang dating kemudian dapat me-nasakh atau men-takhsis yang dating terdahulu. (Abu Zahrah : 11)
Pada tabi’in, cara meng-istinbat hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu.
            Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa Al-Aimnat Al’mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang sistematis. Dengan kata kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2.      Pembukuan Ushul Fiqih
            Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah islam yang semakin meluas., sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. untuk itu para ulama islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum.(Abdul Aziz Al-Sa’idi : 17)
Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqih.
            Golongan Hanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu ushul fiqih ialah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Ali Al-hasan. Alas an mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam bukunya Ar-Ra’y. dan Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun Ushul Fiqih dalam Mazhab kitab Ushul Fiqih sebelum Asy-Syafi’I, bahkan Asy-Syafi’I berguru kepadanya.(Sulaiman ; 60-61)
            Akan tetapi, pernyataan di atas mendapatkan kritikan dari Musthafa Abdul Ar-Raziq. Dia berkata bahwa jika dianggap benar Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan mempunyai kitab Ushul Fiqih, tidaklah salah jika dikatakan bahwa Asy-Syafi’I juga merupakan orang yang pertama menyusunnya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang mengandung kaidah-kaidah untuk rujukan setiap orang yang meng—istinbath hukum.(Sulaiman : 16)
            Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama yang berbicara tentang Ushul Fiqih. Namun, mereka tidak mengklaim bahwa Imam Malik sebagai orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqih. Pengakuan bahwa Malik sebagai perintis Ushul Fiqh, menurut Abd. Wahab ibrahim Sulaiman dapat saja diterima.(Sulaiman : 62)
            Begitu pula, syi’ah Imamiyah yang mengklaim bahwa orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqih adalah Muhammad Al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain A-Abidin,  kemudian diteruskan oleh As’ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar dan perintis Ushul Fiqih. Dan orang pertama yang menyusunnya adalah Al-Hisyam Ibnu Al-Hakam yang menulis kitab Al-Ahhtilaf Al-Hadis didalamnya terdapat uraian sangat penting dalam ilmu Ushul. Pendapat tersebut, diperjelaskan lagi oleh Yunus Ibnu Ar-Rahman yang menulis kitab Al-Ikhtilaf Al-Hadis wa Masailah yang menguraikan pertentangan antara dua hadis dan masalah perpaduan serta pen-tarjihan-nya. Setelah itu, berkembanglah Ushul Fiqih dengan luas. (Sulaiman : 63)
            Golongan Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam Syafi’i-lah orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqih. Hal ini diungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rahman Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, “TIdak diperselisihkan lagi, Imam Syafi’I adalah tokoh besar yang pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah”. (Sulaiman : 64)
            Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. hal ini tidak diperselisihkan lagi. namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang dikenal, yakni:
1.      merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah  bagi setiap bab dalam bab-bab fiqih dan meganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah tersebut. Misalnya, kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan-batasanya dan menjelaskan cara-cara mengaplikasinya dalam kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
2.      Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk mengistinbat hukum dari sumber hukum syar’I, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Al’syafi’I dalam kitabnya Ar-Risalah, suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul. Kitab semacam ini belum ada sebelumnya, menurut ijma’ ulama dan cacatan sejarah.
            Dalam mengomentari kedudukan Asy-syafi’I sebagai penulis pertama kitab ushul fiqih berdasarkan teori kedua diatas, jalaluddin As-suyuti berkata, “di sepakati bahwa assafi’I adalah peletak batu pertama pada ilmu ushul fiqh.dia orang pertama bebicara tentang itu dan menulis nya secara tersendiri.adapun Malik dalam Al-muwatha hanya menunjukkan sebagia kaidah-kidah nya ,demikian pula ulama’-ulama’ lain semasa nya,seperti Abu Yusup dan Muhammad Al-hasan.
            Berdasarkan uraian di atas, dapat di simpul kan bahwa kitab ar-risalah merupakan kitab yang pertama tersusun secara sempurna dalam ilmu ushul fiqih .kitab ini tersusun dengan metode tersendiri,objek pembahasan dan permasalahan nya juga tersendiri,tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqih manapun.

3.      Tahapan-tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
a.      Tahap awal (abad 3 H)
Pada abat tiga hijriah di bawah pemerintahan abbasiah wilayah islam semakin meluas kebagian timur.khalifah-khalifan abbasiah yang berkuasa dalam abat ini adalah Al-ma’mun, untuk masa depan yang lebih baik, Al-mutasim, Al-wasik dan Al-mutawaqqil. Pada masa mereka inilah tejadi suatu kebangkitan ilmiah di kalangan islam,yang di mulai sejak masa pemerintahan Ar-rasyid.kebangkitan pemikiran pada masa ini di tandai dengan timbul nya semangat penerjemahan di kalangan ilmuan muslim.buku-buku pilsapat yunani di terjemahkan ke dalam bahasa arab dan kemudian di berikan penjelasan .
            Salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat ilmuan islam ketika itu berkembangnya ilmu fiqih yamg pada gilirannya untuk mendorong untuk di susunnya metode berfikir fiqih yang di sebut ushul fiqih.
            Selain kitab ar-risalah, pada abat 3H.telah tersusun pula sejumlah kitab ushul fiqih lainnya namun,perlu di ketahui pada umumnya kitab-kitab ushul fiqih yang pada abad 3H ini tidak mencermin kan pemikiran-pemikiran yang utuh yang mencangkup segala aspek nya,kecuali kitab ar-risalah itu sendiri kitab ar-risalah lah yang mencangkup permasalahan-permasalahan ushuliah yang menjadi pusat perhatian para fuqoha pada zaman itu.
            Di samping itu, pemikikran ushuliah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqih,dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama’-ulama’ tertentu mengklaim bahwa imam mazhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqih tersebut.golongan malikiah contohnya. mengklaim imam mazhab nya sebagai perintis pertamama ushul fiqih di karenakan imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliah dalam kitab nya al-muwatha. ketika ia di Tanya tentang kemungkinan adanya dua hadist shahih yang berlawanan yang datang dari Rasulullah pada sa’at yang sama ,malik menolaknya dengan tegas ,karena ia berprinsif bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadist saja.
            Hal lain yang dapat di catat, pada abad ini ialah lahir nya ulam’-ulama’ besar yang melatakkan dasar berdirinya mazhab-mazhab fiqih. para pengikut mereka semakin menunjukkan perbadaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqih dari para imam nya. As-syafi’I missal nya tidsk menerima cara Penggunaan istilah yang masyhur di kalangan hanafiah, sebalik nya hanafiah tidak menggunakan cara-cara pengambilan hukum berdasarkan hadist-hadist yang di pegang oleh as-syafi’i. Sementara itu,kaum ahli Al-hadist pada umumnya dan kaum zariyah pengikut Daud az-zahiri pada khusus nya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan tersebut.
b.      Tahap Perkembangan (abad 4 H)
            Abad 4 H merupakan abad permulaan kelemahan dinasti abbasiah dalam bidang politik.pada abad ini dinasti abbasiah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing di pimpin oleh seorang sultan namun demikian, kelemahan bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembanan semangat keilmuan di kalangan para ulama’ ketika itu .bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu ke islaman pada abad 4H ini jauh lebih maju di bandingkan dengan masa-masa sebelunmnya. Hal ini antara lain di sebutkan masing-masing masa daulah-daulah kecil berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual sekaligus menjadi kebanggaan mereka.
            Khusus di bidang pemikiran fiqih islam,abad 4H hal ini mempunyai karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyrik islam. Pemikiran leberal islam ijtihad mutlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangggap para ulama’ terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang fakih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, terkecuali dalam hal –hal kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran fiqih yang ada semakin mantap exsistensinya, apalagi di sertai oleh panatisme di kalangan penganutnya.namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat di katakana taqli karena masing-masing pengikut mazhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang oleh para pendahulunya.usuha merteka anatara lain:
 1. memperjalas illat-illat hokum yang di isrimbat kan oleh pasra imam mereka : mereka  itulah yang disebut ulama’ takhrij.
 2. mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam mazhab, baik dari segi riwayat.
 3. setiap golongan mendukung mazhabnya sendiri dan mentarjih kannya dalam berbagai masalah khilapiah. mereka menyusun kitab al-khilaf, yang di dalamnya di ungkapkan masalah-masalah yang di perselisihkan, dan mentarjihkan pendapat atau pendirian mazhab yang di anutnya.
            Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini tetutup. akibatnya bagi perkembangan fiqih islam adalah sebagai berikut
a.       kegiatan para ulama’ terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka cendrung hanya mensyarahkan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkas nya.
b.      Menghimpun masalah-masalah furu’ yang sekian banyaknya dalam uraian yang singkat.
c.       Mempebanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
           Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqih terhentinya ijtihad dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pandapat para ulama’ terdahulu dan mentarjihkannya justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul fiqih dalam mengomentari dalam perkembangan fiqih islam dalam abad 4 H. Muhammad Al-hudari menyatakan, usaha mereka untuk menjelas kan illat-ilat hukum yang di istimbatkan oleh para imamnya tidak dapat di wujudkan jika tenyata dari sekalian banyak hukum yang di peroleh dari para imam mereka tidak mempunyai illat, dan para ulama’ berbeda pula dalam menentukan atau mentarikkan illat ini kejelasan illat membuka pintu untuk berpatwa dalam hal yang tidak ada nass nya dari para imam yang bersangkutan. apa blia illat yang menjadi dasar nass nya telah di ketahui mereka (pengikut-pengikutnya) dapat mengujud kan apa yang di sebut nya sebagai ushul yang di jadikan asal oleh para imam mereka dalam istimbatkan hukum.
            Tampak nya para fuqoha memperoleh lapangan baru untuk berijtihad dalam ushul fiqih dari pada berijtihad dalam bidang fiqih mereka melakukan pemikiran yang mandiri dan liberal serta mempunyai ciri khas dan keorsiniran yang belum pernah dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecendrungan mereka terhadap ilmu ‘akliah.antara lain filsafat, sehingga turut mewarnai metode berfikir islam ketika itu.
            Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqih dalam abad 4H ini yaitu muncul nya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya dari ulama’ fiqih. kitab-kitab yang paling terkenal ialah:

a.       kitab ushul Al-kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadillah Ibnu Al-husain  Ibnu Dillal Dalaham Al-Kharkhi. Kitab ini bercorak Hanafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqih. Salah satu kaidah yang menurut sebagian ulama menunjukkan kefanatikan penulisnya terhadap mazhabnya, ialah kaidah yang berbunyi, “pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan perkataan sahabat-sahabat kami mengandung arti naskh atau tarjih, sehingga harus ditakwil kan untuk menyesuaikannya”. Jelas sekali bahwa perkataan ini menunjukkan sikap lebih mementingkan perkataan-perkataan imam-imamnya dari pada teks ayat dan sunah.
b.      Kitab Al-fushul fi Al-UShul, ditulis oleh Ahmad ibnu Ali Abu Bakar Ar-razim yang juga dikenal dengan Al-Jashash. Kitab ini juga bercorak Hanafiyah dan banyak mengeritik isi kitab Ar-risalah, terutama dalam masalah Al-bayan dan istihsan.
c.       Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di Tahqiq oleh Dr. Muhammad Hasan Musthafa Asy-Syalaby. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus yang menerangkan arti lafazh dan arti defenisi-definisi yang sangat dibutuhkan oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ ta’rif dan tidak tersusun berdasarkan abjad, tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan pengertian kata-katanya.
            Berdasarkan uraian diatas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas perkembangan ilmu ushul fiqih pada abad 4 H, yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqih yang membahas masalah ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas masalah kitab-kitab tertentu. Hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
            Dalam abad 4 H. ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak Filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu Mantiq dalam ilmu ushul fiqh Al-hudud merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai  dalam perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya.  Akibat dari pengaruh ini sekurang-kurangnya ada dua, yakni :
a.       ketergantungan penulis dalam bidang ushul fiqih pada pola acuan dan kriteria Manthiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan bagi mereka untuk melakukan kriteria dan keabsahan berpendapat, yang pada gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu ushul fiqh selanjutnya ;
b.      Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independent dalam memberikan definisi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang khusus di pakai dalam ilmu ushul fiqih.
c.       Tahap Penyempurnaan (abad 5-6 H)
            Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil. Membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia islam. Peradaban islam tidak lagi berpusat pada Baghdad, tetapi juga dikota-kota, seperti Kairo, Bukhara, Gahznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari pada sultan, raja-raja penguasa daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
            Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya ; antara lain  Al-Baqilani, Al-Qahdi Abd, Al Jabar, Abd Al-Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad-dabusy, Abu Husain Al-Bashri, mereka itulah pelopor keilmuan islam dizaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman dikemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandingnya dalam penulisan dan pengkajian keislaman. Itulah sebabnya pada zaman itu, generasi islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan menjadikannya sebagai sumber pemikiran.
            Dalam sejarah perkembangan ilmu ushul fiqih, pada abad 5 dan 6 H. ini merupakan periode penulisan kitab ushul fiqih terpesat, yang di antaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi standar dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.


        Kitab-kitab ushul fiqih yang paling penting antara lain sebagai berikut ;
a.       kitab Al-Mughni fi Al-Abwab Al-‘Adl wa At-Tawhid, ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar (w. 415 H / 1024 M). Dalam kitab Mughni. Abd Al-jabbar tidak saja menulis kaidah-kaidah fiqih., tetapi juga kaidah-kaidah ilmu kalam yang bercorak Mu’tazilah. Baginya ilmu kalam dan ilmu ushul fiqih saling menyempurnakan antara satu dengan yang lainnya. Untuk diketahui, aliran mu’tazilah merupakan aliran yang berfikir rasional maka tercermin pula dalam metode ilmiah dan disertai argument yang logis.
b.      Kitab Al-Mu’amad fi Al-ushul fiqih, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. 436 H / 1044M). yang juga beraliran mu’tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling sempurna dan menjadi sumber utama bagi ulama mu’tazilah pada umumnya, bahkan dinilai sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih, yang dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu ushul fiqih sesudahnya.
c.       Kitab Al-Iddaf fi ushul Al-fiqih. Ditulis oleh Abu Al-Qadhi Abu Muhamad Ya’la Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khalf Al-Farra (w. 458 H / 1065 M). yang dianggap sebagai ulama besar madzhab pada abad 5 H.
d.      Kitab Al-Burhan fiushul Al-fiqih, ditulis oleh Abu Al-Ma’ali Abd. Al-Malik Ibnu Abdillah Ibnu Yusuf Al-Juwaini Imam Al-Haramain (w. 478 H / 1094 M). kitab ini dinilai sebagai salah satu kitab standar ushul fiqih, ibnu Khaldun menilai kitab ushul fiqih yang terbaik dari kalangan mutakallimin.
e.       Kitab Al-Mustasfa min Ilm Al-ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505 H / 1111 M). yang juga dikenal sebagai hujjah Al-islam. Algazali telah berguru kepada imam Alharamain, dan pernah memimpin madrasah Nizhamiyah. Ia terkenal sebagai ulama yang mendalami fiqih, Filsafat, dan tasawuf sekaligus. Kitabnya Al-mustashafa, menurut ibnu khaldun, adalah kitab terakhir dari seluruh kitab standar ushul fiqih. Hasil-hasil ijtihad Algaali yang terpenting dalam Almustashaf antara lain adalah penolakannya terhadap hadis mursal dalam hal ini ia berbeda pendapat dengan Malik dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat bahwa fatwa-fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah jika sahabat lainnya mendiamkannya. Menurut Al-gazali fatwa itu tidak dapat dijadikan hujjah sebelum yakin bahwa diamnya sahabat itu menyetujui fatwa itu. Ia juga tidak sependapat dengan asy-syafi’I dalam taqlid kepada sahabat. Menurut Al-gazali, para sahabat sering salah dan lupa, dan tidak ada hujjah yang mutawatir tentang kesucian mereka ; merekapun sering berbeda pendapat sebagai bukti bahwa mereka tidak ma’shum.dan juga para sahabat itu membolehkan adanya ijtihad lain yang berbeda dengan ijtihad mereka. Menurut Al-gazali setiap mujtahid memiliki nilai kebenaran pada pendapatnya masing-masing. Ia tidak setuju pada pendapat bahwa hanya satu di antara semua ijtihad yang benar, sedangkan yang lainnya salah. Demikianlah dalam abad 5 dan 6 H. tampil fuqaha yang memiliki pemikiran-pemikiran yang orisinil dan liberal, yang ditandai dengan timbulnya perbedaan-perbedaan pendapat dalam maslah-masalah  tertentu.

4.      Pengaruh Manthiq Aristo dalam Perkembangan Ushul Fiqih
            Seperti diketahui ushul fiqih mengalami perkembangan pesat setelah dibukukan. Namun, merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa perkembangan itu disebabkan oleh pengaruh asing, yakni filsafat Aristo, khususnya manthiq yang pada saat itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Memang dalam menyusun kitab Ar-risalah, asy-syafi’I menempuh metode deduktif filsafat, yaitu menyusun kaidah-kaidah kulliyah yang dapat diaplikasi dalam masalah-masalah juzi’yah. Dengan demikian, ada yang mengira bahwa manthiq dalam penulisan kitabnya itu. Alasan mereka adalah bahwa manthiq telah dikenal oleh islam sebelum masa asy-syafi’I dan dia sendiri mengerti bahasa Yunani dan ternyata metode qiyasnya mirip dengan metode tamsil Aristo. Namun demikian, alasan-alasan itu kurang  kuat, karena asy-syafi’I ternyata sangat membenci manthiq Aristo.
            Ulama yang dianggap menerima pengaruh manthiq secara sungguh-sungguh ialah Al-gazali karena secara mencolok ia mengemukakan teori-teori manthiq sebagai mukadimah kitabnya Al-mustashaf. Didalamnya, ia menegaskan barang siapa yang tidak menguasai manthiq Aristo, maka ilmunya tidak dapat dipastikan kebenarannya. Atas dasar inilah, Al-gazali menilai manthiq Aristo sebagai salah satu syarat ijtihad dan merupakan fardu kifayah bagi umat islam. Hal ini membawa al-ghazali kepada posisi yang bertentangan dengan para fuqaha islam ketika itu.
            Suatu hal yang perlu dicatat bahwa masuknya pengaruh manthiq Aristo kedalam ushul fiqih, yang dimulai semenjak imam Al-Haramain atau setidak-tidaknya oleh al-ghazali, ternyata merupakan suatu bukti bahwa pengaruh itu masuk dalam ushul fiqih melalui para ulama mutakallimin ‘Asy’ariyah, bukan dari kalangan Mu’tazilah.
            Pengaruh manthiq dalam ushul fiqih, yang terjadi sejak akhir abad 5 H ini banyak mendapat tantangan dari para ulama yang hidup semasanya dan sesudahnya. Ulama yang paling terkenal menentangnya ialah ibnu Ash-shalah dan ibnu Taimiyah. Ibnu as-shalah membantah keras al-ghazali yang berpendapat bahwa barang siapa yang tidak menguasai manthiq maka pada dasarnya ilmunya tidak diyakini kebenarannya. Ibnu ash-shalah berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dll, dapat mencapai tingkat keyakinan padahal tidak seorang pun diantara mereka yang mengetahui manthiq:. Ketika ibnu ash-shalah ditanya apakah para sahabat tabi’in dan mujtahid salaf membolehkan mempelajari manthiq ? ia menjawb, “Manthiq ialah suatu jalan masuk ke sesatan, sedangkan masuk kedalam kesesatan adalah sesat. Mempelajarinya bukanlah hal yang di bolehkan oleh syari’at dan tidak seorang pun dari para sahabat tabi’in dan mujtahid yang membolehkannya.
            Tantangan yang sama dilontarkan oleh ibnu Taimiyah dalam bukunya Ar-Radd ‘ala Al-manthiqiyah. Ia menyalahkan orang yang menganggap ilmu yang diperoleh dengan akal sebagai bagian dari ilmu kenabian (keagamaan), selain ilmu dan praktek. Ia menyatakan bahwa orang yang beranggapan demikian telah dimasuki pengaruh dari luar dan hawa nafsu yang merusak.

5.      Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih islam
            Dapat dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’ dan menjabarkannya pada kehidupan social yang berubah-ubah itu. Kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqih itu terus berkembang menuju kesempurnaanya hingga puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut merupakan abad memusatkan penulisan ilmu ushul fiqih karena banyak para ulama memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab fiqih selanjutnya.
            Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk mengetahui metode istinbath hukum dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah di tetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam berijtihadnya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
            Target studi fiqih mujtahid ialah agar ia mampu mengistinbath hukum yang ia hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang mempelajari fiqih islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam mazhab dalam mengistinbath hukum sehingga ia dapat mentarjih dan mentahrij pendapat imam mazhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan diaplikasinya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath.
            Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dan ditetapkannya kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu untuk keperluan istinbath hukum., terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. dan setelah banyak ulama yang berpendapat bahwa mulai tahun 400 H pintu ijtihad tertutup, fiqih islam hanya terbatas pada pendapat para imam dan pendapat mereka yang tertulis dalam kitab-kitab fiqih tanpa ada yang berusaha untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Ketika para ulama melihat orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap berijtihad. Sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. Mereka mengatakan pintu ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu untuk main-main dalam hukum syara’ dapat dihindari.
            Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah tidak berdasarkan pada dalil syara’. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian, bagi seseorang yang memenuhi syarat ijtihad., tidak ada halangan baginya untuk melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorangpun berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berrpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa kembali lagi sebagaimana di masa Aimmat Al-mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam berijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat berijtihad.
            Segi lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul fiqih selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ketingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih. Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhabnya tidak mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidahnya. Peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih islam dapat dikatakan sebagai penolong faqih dalam mengeluarkan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, ibnu khaldun dalam kitabnya Muqaddamah berkata, “sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya”.
            Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimilki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan tertinggi nilainya. Perlu di ingat pula bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu lafazh yang  terdapat dalam nash syara’, terutama dalam Al-Quran. Dan mereka dengan ushul fiqih mencoba mengungkapkan maksud pembuat hukum (Allah) atau murad Asy-syari.

6.      Aliran-Aliran Ushul Fiqih
            Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih, dikenal dua aliran, yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqih untuk menggali hukum islam.
            Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan jumhur mutakallim (ahli kalam). Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa di pengaruhi masalah furu’ dan mazhab, sehingga ada kalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah furu’ dan ada kalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap permasalahan yang didukung naqli dapat dijadikan kaidah.
            Namun, pada kenyataannya dikalangan syafi’iyah sendiri terjadi pertentangan, misalnya Al-amidi yang mengajukan kehujjahan ijma’ sukuti. Padahal imam syafi’i sendiri tidak mengakuinya. Padahal ijma’ yang diakui secara mutlak oleh imam syafi’I adalah ijma’ dikalangan sahabat saja secara jelas. Pendapat Alamidi tersebut sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi dari usahanya bersama Al-Qarafi untuk menyatukan dua aliran ushul fiqih.
            Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalahan teoritis, aliran ini sering tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini sangat dominan, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan dapat dicapai akal atau tidak), dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang berkaitan pula masalah aqidah. Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi dan terhadap kema’shuman Rasulullah SAW.
            Kitab standar aliran ini antara lain : Ar-risalah (imam syafi’i), Al-Mu’tamad (Abu Al-husain Muhammad ibnu ‘Ali Al-Bashri), Al-Burhan fi ushul fiqh (imam Al-haramain Al-juwaini), Al-Mankhul min Ta’liqat Al-ushul. Shifa Al-gazali fi Bayan asy-syahab wa Al-mukhil wa Masalik At-Ta’lil, Al-mushfa fi ilmi Al-ushul (ketiganya karangan imam abu hamid Al-gazali).
            Aliran kedua, dikenal dengan istilah aliran fuqaha yang dianut oleh para ulama mazhab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran ini, banyak dipengaruhi oleh furu’ yang ada dalam mazhab mereka.
            Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kaidah yang mereka susun terhadap furu’. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
            Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain : kitab Al-Ushul (imam abu hasan al-kharkhi, Al-Ushul (abu Bakar Al-jashsaha), ushul Al-sarakhsi (imam Al-sarakhi), Ta’sis An-Nazhar (imam abu zaid al-dabusi), dan al-kasyaf al-asrar (imam al-bazdawi).
            Sedangkan kitab-kitab ushul yang mengabungkan kedua teori diatas antara lain :
1.      At-tahrij, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Hanafi (w. 861 H)
2.      Tahqih Al-Ushul, oleh Shadr Asy-Syari’ah (w. 747 H). kitab ini merupakan rangkuman dari tiga kitab ushul fiqih yaitu : Kasf Al-asrar (imam Al-Bazdawi), Al-Mahshul (faqih Ad-Din Ar-razi Asy-syafi’i), dan mukhtashar ibnu al-hajib (ibnu Al-Hajib Al-maliki).
3.      Jam’u Al-jawawi, oleh Taj Ad-Din Adb Al-Wahab As-subki Asy-syafi’I (w. 771 H).
4.      Musallam Ats_Tsubut, oleh Muhibullah Ibnu Abd Al-Syakur (w.1119 H).
            Pada abad 8 muncul imam Asy-Syatibhi yang menyusun kitab Al-Muwafaqat fi Al-ushul Asy-Syari’ah. Pembahasan ushul fiqih yang dikemukakan dalam kitab tersebut berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap sebagai kitab ushul fiqih kontenporer yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman sekarang .

0 komentar: