Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya
secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral,
kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. Tak dapat
dipungkiri, bila dilihat dari akar historitas, kelahiran PMII tak bisa
dipisahkan dari lingkup NU. Meskipun PMII pernah menyatakan independen tehadap
NU, tetapi pada hakikatnya landasan ideologi ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja)
yang diusung PMII masih selaras dengan landasan ideologi NU. Lebih dari itu,
hubungan PMII dengan NU merupakan relasi strategis, bukan semata-mata karena ikatan
teologis dan kultural, melainkan karena secara sosio-ekonomi dan sosio-politik,
antara PMII dengan NU memiliki banyak kesamaan. Selain itu tidak boleh
diingkari bahwa pada hakikatnya titik keberangkatan PMII adalah dari akar NU.
Memperkuat hubungan dengan Nahdlatul Ulama semestinya diarahkan dari visi
kebangsaan. Bagaimanapun NU adalah ormas keagamaan yang paling tegas dalam
menyatakan visi nasionalismenya. Visi ini sama dengan visi di PMII. Selain itu,
hubungan diarahkan untuk membentuk pola ikatan yang lebih massif dari proses
berbangsa yang tengah dibangun PMII. Sebagaimana PMII, NU memiliki potensi yang
sangat besar untuk menjadi perekat bangsa ini, mengingat secara tradisi, Islam
di Indonesia pada dasarnya direpresentasikan oleh Nahdlatul Ulama.
Titik persoalannya, basis NU baru terdapat di Jawa, sementara luar Jawa
belum mendapat perhatian yang cukup. Apabila basis di luar Jawa dikembangkan
secara serius, PMII dan NU akan menjadi kekuatan strategis. Semisal di beberapa
daerah di Kalimantan Selatan yang memiliki nuansa kultur ‘Islam-Indonesia’ yang
kental, ini bisa menjadi pijakan awal hubungan tersebut.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa digali dari arah perjuangan bersama
antara PMII dan NU. Pertama, ideologis. Dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII
memilih Aswaja sebagai pendekatan berpikir dalam menghayati dan memahami
keyakinan beragama. Dalam hal ini, PMII selaras dengan perjuangan NU. Islam
Aswaja yang dikenal memiliki semangat nilai tawasuth (moderat), al-hurriyah
(kemerdekaan), tasamuh (toleransi), i’tidal (keadilan), al-hurriyah
(persamaan), dan al-sulh (nilai perdamaian) merupakan landasan penting di
tengah kenyataan masyarakat Indoensia yang serba majemuk ini. Nilai-nilai
ini-lah yang semestinya menjadi perjuangan bersama (universal), tidak hanya
PMII dan NU, tetapi juga setiap elemen lain dalam komponen bangsa ini.
Kedua, aspek sosiologis. Hubungan dalam pengertian yang tidak bersifat
organisatoris. Apalagi bila dihubungkan dengan kesamaan sosio-ekonomi,
sosio-kultur, dan sosio-politik antara PMII dengan NU. Ketiga, aspek teknis.
Bahwa di setiap lembaga, masing-masing pasti memiliki program kegiatan. Di NU
misalnya, memiliki program kegiatan yang meliputi banyak aspek, semisal di
pendidikan, kesehatan, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lain
sebagainya. Di ruang-ruang itulah, PMII dengan NU bisa saling mengisi. Ketiga
hal tersebut, minimal bisa menjadi bukti ketegasan komitmen interdependensi
PMII dengan NU.
Pada akhirnya, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak akan lepas dari
faham ahlussunnah wal jamaah yang juga merupakan ciri khas NU. Ini berarti
secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah
wal jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja pula,
PMII membedakan diri dengan organisasi lain.
Satu hal yang patut kita ingat adalah, bukan persoalan menjadi banom atau
tidak menjadi banom, tetapi bagaimana PMII, NU, dan kita semua bisa tetap
berkomitmen dalam perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Sumber: NU
Online